Mengawali siang denganmu
Meninggalkan pagi katamu,
mengharap sore-sore yang...
"apa yang kau bayangkan?"
Cara kepergianmu teman...
Adalah kepergianmu meninggalkan sisa-sisa yang tak sia-sia
Mengumandangkan setengah jiwa yang kau punya katanya aku bisa membacanya
letakkan saja.......
diamkanlah saja...
sebab, walau meskipun apapun siapapun kenapa...
tak akan pernah ada jawabnya
lalu apa? kamu selalu ada
dan bukan masalah waktu, lalu...
bukan waktu yang ku maksudkan...
lalu apa? kamu selalu bertanya
dan bukan masalah jawaban, lalu...
bukan jawaban yang ku harapkan...
dengar cerita ini,
Jam
19.00 malam. "Waktu" itu aku lagi blajar mencari "jawaban" soal
matematika dari Bu Indras. Dalam hati ku merekam bisikan rayuan. Besok
pagi soal ujian nasionalnya matematika, bagiku tak sesulit memahami
temanku. Harus selesai materi malam ini juga. Sesaat hape-ku bergetar
tanda ada sms masuk.
,Sin, ak dikerikin, ak msuk angin. skr ..
,ibukku minggat mboh nengdi ..
Ini
pilihan berat. Apa yang harus ku pilih. Belajar, atau teman? Ini sulit.
Teringat dari itu, "bukan waktu yang ku maksudkan, bukan jawaban yang
ku harapkan." Sampai sekarang-pun aku tak tau. Walau saat itu ku pilih
datang ke-rumahnya dan segera mengerik badannya. Mengerik tiap lekat
centi kulit punggungnya yang dingin, hingga merah menyala-nyala. Hingga
selesai semuanya. Hingga capek jari ini. Hingga aku kelupaan dengan
belajarku.
Apa sih arti teman, kenapa aku sampai berbuat sedemikian rupa?
Pukul
00.00 malam, kulanjutkan belajar sambil minum susu coklat panas
kesukaanku. Se-biasanya sih, ditemani radio. Dari situ aku mendengar
suatu kalimat tentang arti teman. Katanya, kita akan benar-benar kuat
saat melindungi teman.
Hmm....menurutku tidak juga.
Bergulir waktu, tak terasa saat itu sudah pukul 00.13 pagi. Sendirian
di kamar, duduk dikursi dan menyandarkan tangan di meja belajar. Kini
malam tak menjumpai ketenangan. Badanku terasa lemas, mengikuti alunan
suara hewan-hewan malam yang mengisi kesunyian. Suara nada dering
hape berbunyi merobek suara-suara kehidupan malam di luar sana. Dengan ragu kuangkat
hape-ku, karena nomor yang masuk diterima sebagai
private number. Seorang cewe dengan suara nyaring nan lembut berbicara seakan membaca isi otakku.
"sering ya kamu ngorbanin diri demi orang lain, tapi kamu sendiri gak menyadari kalau sebenarnya kamu gak ikhlas"
Padahal aku belum sempat menyapanya, bahkan bilang halo tak sempat kututurkan, ehh...sudah ditutup telponnya.
"Ada apa ini, suara cewe itu siapa ya...?" gumamku dalam hati. Dari kejadian-kejadian tadi, meng-intuisikan kejadian masalaluku. Aku, selalu mengalah buat orang lain.
"Tapi aku juga masih hidup",
gumamku lagi. Selaku untuk menyemangati diriku sendiri yang entah
kenapa aku seperti itu. Aku selalu merasa bahwa aku akan baik-baik saja
dengan sifatku yang seperti itu. Terlebih aku merasa sangat mampu untuk
memiliki sifat itu. Sifat seorang yang baik, selalu menolong orang lain
dan kadang lupa akan kebutuhan dirinya sendiri.
,apa? kau masih hidup? ..
Dia lagi, orang yang ku tolong tadi sms ke
hape-ku
dengan kalimat pertanyaan yang seolah tak setuju dengan apa yang aku
pikirkan. Ini gila! Dia kenapa bisa membaca yang aku pikirkan. Apa
sebenarnya ini? Buatku semakin takut...
Hape-ku berbunyi lagi, ada yang telpon dengan
private number. Ku angkat segera dan...
"Hallo ! Ini siapa?!" sapaku tegas.
"Assalamu Alaikum..." suara cewe yang tadi. Tapi kini alunan nada bicaranya berubah, seakan ingin menangis.
"Walaikum Salam, maaf ini dengan siapa? Ada perlu apa jam segini telpon aku?" jawabku penasaran.
"Kamu Sinto ya?" jawabnya yang tak menggubris pertanyaanku.
"Iya ini aku, kamu siapa?" tanyaku sekali lagi.
"Aku Martha, aku sudah suka kamu semenjak aku tinggal dikamar ini" jawabnya.
"Pake bahasa jawa aja!" suruhku tegas.
"Aku pake bahasa roh, dan kamu yang bisa memakai bahasa roh, kamu bisa bahasa roh...hihihihihihahahahaha" dia ketawa seolah mengejekku.
"Kamu siapa to? Apa aku pernah berbuat salah ma kamu?" jawabku gemetar karna takut.
"Bisa
gak malam ini kamu keluar rumah, ambil 13 biji melinjo merah yang
berjatuhan di belakang rumah terus simpen di bawah bantal
tidurmu...hihihihihaahahaaaa..." tawanya sedikit seram.
"Yooh !!" jawabku. Ia langsung menutup hubungan pembicaraan ini.
Segera
ku ambil melinjo itu, memungutnya satu per-satu hingga genap 13 biji,
lalu ku bawa masuk sambil lari ketakutan. Pukul 00.47 dini hari, baru
aja sampai kamar tidur cewe itu telpon lagi.
"Hallo...ini udah" sapaku.
"Belum, hihihi..." jawabnya ketawa pendek.
"Kenapa, jumlahnya 13 kan?" jawabku.
"Yang merah cuma 7, yang 6 hijau...hihihi, ayo donk temuin" ajaknya agak memaksa.
"Kenapa nyuruh gitu? Aku gak mau! Di luar gelap, gak keliatan, aku takut" jawabku.
"Katanya kamu selalu mau berkorban untuk orang lain..hihihi" kata-katanyanya seakan menyindirku, membuatku merasa malu akan kata-kata yang selalu kututurkan.
"OK, tapi jangan tutup telponnya. Temani aku keluar!" ajakku ke dia, jujur aku takut banget waktu itu.
Sambil mengobrol di
TKP,
gak terasa sampai jam 2an malam, belum ketemu juga. Badanku terasa
berat dan semuanya tiba-tiba jadi gelap gulita. Lalu aku terbangun dari
tidurku. Ternyata cuma mimpi. Masih jam 21.25 dini hari. Ada sms masuk
lagi...
,Sin, thx yow udah ngerikin aku tadi ..
Segera ku telpon temanku. Menanyakan tentang apa yang sebenarnya terjadi padaku malam ini.
"Hoi, aku dari tadi tidur. Emang aku udah datang kerumahmu? Kayaknya aku cuma mimpi." tanyaku langsung.
"Udah dongo! Kamu kerumahku sekitar jam 8 malam" jawabnya.
Ini
semua apa? tanyaku dalam hati. Ini gila, ini dejavu. Apa arti dari
"waktu" dan "jawaban" dari semua kejadian ini. Siapa Martha? Dimana
semua latar-latar ini dengan mudah muncul dan meghilang begitu saja?
Membuatku begadang semalaman tanpa belajar, hanya melamun sambil minum
susu coklat hobiku. Keesokan harinya saat
Ujian Nasional berlangsung, kukerjakan soal itu satu per-satu dengan mudah. Entah kenapa aku bisa mengerjakannya.
"Ini mukjizat atau kutukan?" gumamku.
Ya,
ini bukan masalah waktu. Ini bukan tentang mencari jawaban, sebuah
alasan kenapa ini terjadi dan kenapa aku melakukannya. Aku, berkunjung
di latar yang belum pernah ku temui. 13 biji melinjo ini juga ada, 7
merah, 6 hijau. Aku mulai menyingkiri semua itu. Tak menyimpulkan suatu
apapun. Apapun? Jadi ini sebenarnya adalah suatu hal, bahkan mungkin
rangkaian dari semua hal yang tersusun-himpun. Aku harus, apa...?
Masih
bertanya dan mengharap jawaban lagi. Dan sebenarnya siapa yang akan
kutanyai, siapa yang akan memberikan jawaban? Bahkan aku bertanya dalam
doa, kata Tuhan aku bisa mencarinya sendiri.
Beberapa
hari telah berlalu. Namun masih membuatku penasaran. Selalu dengan
Guntur, teman yang kutolong waktu itu. Berdua duduk berjejer di pinggir
pantai selatan, tak mencari jawaban atas apapun itu. Tapi kami mampu
merasakannya. Dan diam, tanpa berbicara. Memandang wadah air samudera
Hindia.
"Sin, aku tau...!" serunya.
"Apa...?" tanyaku.
"Aku tahu kamu mau bilang 'apa' ?" tanyanya padaku dengan ceria.
"Apa...?" tanyaku lagi.
"Nah, itu jawabannya, aku bisa tahu kalo kamu mau bilang 'apa'...wkwkwkwkkwkwkwkw" jawabnya.
"Goblok! Konyol! wkwkwkwkwkwkwkwkw" jawabku dengan ceria.
Aku
tercengang sejenak. Ya, aku menemukannya. Dia memberikan kunci jawaban
dari semua ini. Semua yang ku ceritakan ke Guntur, tentang kejadian
malam itu. Hahahaha...bodohnya aku.
"Bisa kamu simpulkan kan?" tanyanya sambil meninggalkan tempat ia duduk.
"Iya, aku tahu" jawabku lega.
Selalu aku bertanya,
apa, kenapa. Jadi
ini ya. Ternyata apa yang selalu aku tanyakan, sebenarnya seluruh
jawaban tersirat di pelupuk pertanyaan itu. Sungguh ironis diriku. Dia,
yang selalu merepotkanku, selalu menggangguku, selalu minta bantuan
kepadaku. Ternyata di balik itu, dia memberiku pertanyaan besar. Sebuah
pertanyaan hidup yang rumit ku temukan jawabannya.
"Apa aku sudah ikhlas untuk berbuat demikian hingga telah menjadi sifatku?" pertanyaan yang tak perlu dijawab. Dia tersenyum dari jauh dan berteriak...
"SINTO......!! SAHABAT ITU ASU!!" teriaknya.
"ASU APA MAKSUDMU......?!" seru tanyaku.
"AKU SAKIT UNTUKMU" jawabnya.
"PANCEN KOWE ASU !!" jawabku sambil ketawa.
Yah,
dia menganggap keberadaanku. Dia sakit, membuatku repot menolongnya.
Huh...ternyata ada yang menyuruhnya untuk membantuku mencari jawaban
dari semua kejadian ini. Ini mustahil, pasti ada yang mengatur di balik
semua yang terjadi ini. Mengatur? Siapa? Tuhan? Ya. jawabku tegas.
Guntur, dia sahabatku dari kecil. Dari awal, kenapa aku rela datang
kerumahnya, menolongnya. Ternyata Tuhan menciptakannya untuk menemaniku
disini. Seolah dia itu mataku, yang selalu tepat menebak jarak
pandangku. Ia selalu bersumbar, bahwa kita hanya sebatang lidi yang
mencoba menembus bumi. Dari kenapa aku mengikuti apa yang di inginkan
hantu cewe dikamarku, aku jadi tak pernah takut akan hantu lagi. Yah,
cerita ketakutan hantu ku musnahkan.Dengan cara aku bersyukur ternyata
aku sadar. Aku yang manusia, hidup di alam nyata, sebagai makhluk Tuhan
yang se-citra dengan Allah masih penuh dengan dosa. Aku masih belajar
bagaimana rasa ikhlas. Aku masih jauh dari kebaikan. Aku tak boleh
sombong dan menganggap diriku ini orang baik. Bagai wayang yang
dhalangnya hanya diam dan tak mau memberi jawaban.
Semua
kejadian ini, membuatku bahagia. "Sahabat itu asu! hahaha..." kami
ketawa teriak-teriak sepuasnya sampai malam tiba. Dari semua kejadian
ini, aku tak menyimpulkannya. Tapi, aku hanya memakainya untuk
menghadapi yang esok. Esok, pasti ada masalah yang lebih berat dari
kemarin. Esok, pasti tantangan akan lebih seru.
"Tak
semudah itu mencari kesimpulan, jawaban alasan atas semua kemauan. Tapi
dia mengajariku. Jawabannya sedikit, tapi mengartikan semua latar.
Semua sudut utopia yang terlihat tak berwarna. Karena itu, jangan
hanya bertanya atas "waktu" dan "jawaban "yang sebenarnya kita sendiri
tahu. Saat aku berkorban, saat aku melindungi semuanya, teman, sahabat,
keluarga, pacar, saudara, bahkan impian dan cita-cita, aku...akan
benar-benar kuat. Semua itu belum sepenuhnya ku lakukan. Terimakasih
Tuhan. Kami Teman."
sepanjang jalan,
tak akan ku jadi jalang,
ku tak takut mendiang datang mencuri keterikatan kami
ufuk jalan, di balik layar penampakan
serumpamakan ini adalah perjalanan yang mempunyai klimaks,
tak harus disimpulkan, cukup dengan jalan dilakukan
bukan untuk ditanyakan
bukan untuk dipecahkan
bukan antara aku dan kau,
kau dan mereka,
aku dan kita.
"semua berakhir antara diri kita pribadi dengan Tuhan"
semua adalah kepadaNya.
bukan suatu kesimpulan
sahabat itu asu :-)
pramusinto, 21 Januari 2011